Modus Pura-pura Tertabrak, Masuk Pemerasan?

Oleh : Ladito R. Bagaskoro, S.H., M.H.

Pertanyaan:

Baru-baru ini viral orang pura-pura tertabrak mobil supaya bisa minta ganti rugi. Padahal sebenarnya mereka lah yang sengaja tidak berhati-hati. Apakah perbuatan semacam ini ada hukum pidananya?

Jawaban:

Modus Pura-pura Tertabrak

Menyambung pertanyaan Anda, sebenarnya modus pelaku pura-pura tertabrak untuk mendapatkan ganti rugi bukanlah modus baru dalam dunia kejahatan. Namun hal ini kembali viral setelah ada video pura-pura tertabrak mobil yang diunggah korban baru-baru ini.

Pura-pura tertabrak kemudian meminta ganti rugi dengan cara yang memaksa berarti meminta sesuatu yang bukan haknya dengan cara melanggar hukum. Dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum karena adanya unsur memaksa dan dengan upaya kekerasan atau ancaman kekerasan dari pelaku untuk meminta menyerahkan uang yang mana sesungguhnya uang itu bukan hak pelaku.

Arti “pemerasan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “peras” adalah perihal, cara, perbuatan memeras. Pemerasan atau afpersing dalam Pasal 368 KUHP diatur dengan bunyi sebagai berikut:

  1. Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain; atau supaya memberi hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
  2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, juga ketiga dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.

Unsur Tindak Pidana Pemerasan          

Terkait hubungan tindak pidana pemerasan dalam modus pura-pura tertabrak mobil, rumusan Pasal 368 ayat (1) KUHP terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif, yang akan kami jelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

  1. Unsur-unsur objektif terdiri dari:

Perbuatan memaksa (dwingen)

Undang-undang tidak menjelaskan perihal definisi dari memaksa. Perbuatan memaksa adalah berupa perbuatan (secara aktif dan dalam hal ini menggunakan cara kekerasan atau ancaman kekerasan) yang sifatnya menekan kehendak atau keinginan pada korban, agar korban itu melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak korban itu sendiri.[1]

Dalam hal ini, sebagai akibat pemaksaan, korban memiliki rasa cemas dan takut sehingga dari kondisi tersebut korban akhirnya menuruti kehendak pelaku. Pemenuhan kehendak pada bentuk pemerasan ini berbeda dengan pemenuhan kehendak pada bentuk penipuan. Jika pemenuhan kehendak pada pemerasan dilakukan dengan paksaan, pemenuhan kehendak pada penipuan dilakukan secara sukarela tanpa ada rasa keberatan atau tertekan.[2]

Pemaksaan terhadap seseorang

Bahwa perbuatan memaksa itu ditujukan pada seseorang untuk menyerahkan barang, menghapuskan piutang atau memberikan utang. Dalam hal ini tidak selalu orang yang menerima paksaan adalah orang yang sama dengan orang yang memberikan utang, menyerahkan benda atau menghapuskan piutang.

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU 5/2018, kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.

Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU 5/2018, ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat.

Dengan tujuan agar orang menyerahkan benda, memberikan utang, menghapuskan piutang

Tujuan memaksa harus ditujukan pada ketiga alasan tersebut. Pelaku secara sengaja dan sadar untuk mencapai maksud menguntungkan diri sendiri maupun diri orang lain untuk menyerahkan benda, memberikan utang, atau menghapuskan piutang.

  1. Unsur-unsur subjektif yaitu, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum

Pelaku sebelum melakukan perbuatan memaksa dalam dirinya telah ada suatu kesadaran bahwa maksud menguntungkan bagi diri sendiri atau orang lain dengan memaksa seseorang adalah hal yang bertentangan dengan hukum. Menguntungkan diri adalah maksud pelaku dan tidak harus telah terwujud[3] Tetap dinyatakan bersalah melakukan pemerasan ketika ternyata bahwa barang yang diminta dengan kekerasan tersebut merupakan barang milik pelaku, namun pelaku tidak mengetahui kondisi tersebut saat melakukan pemerasan.[4]

Unsur Tindak Pidana Pemerasan yang Diperberat

Sementara itu, untuk Pasal 368 ayat (2) KUHP, merupakan bentuk pemerasan yang diperberat. Bentuk-bentuk pemerasan yang diperberat adalah:[5]

  1. Pemerasan yang diancam dengan pidana penjara maksimum 12 tahun apabila memenuhi unsur:

Baik unsur objektif dan subjektif pemerasan sesuai yang tercantum pada bentuk pokoknya sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, ditambah salah satu dari unsur-unsur khusus yang bersifat alternatif:

  • Jika perbuatan dilakukan di malam hari dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.
  • Dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.
  • Cara masuk ke tempat melakukan pemerasan dengan jalan merusak atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu
  • Jika perbuatan mengakibatkan luka berat.
  1. Bentuk pemerasan yang diancam 15 tahun penjara apabila mengakibatkan kematian.
  2. Bentuk pemerasan yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yaitu:
    • Dilakukan di malam hari dalam sebuah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan; dan
    • Cara masuk ke tempat melakukan pemerasan dengan jalan merusak atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

Terkait dengan unsur-unsur yang telah disebutkan sebelumnya, apakah perbuatan pura-pura tertabrak lalu meminta ganti rugi itu merupakan kejahatan dalam hukum pidana? Menurut hemat kami, dengan adanya unsur memaksa, upaya kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan tujuan yaitu menyerahkan uang untuk ganti rugi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri, maka perbuatan pura-pura tertabrak telah memenuhi unsur bentuk kejahatan pemerasan pada Pasal 368 ayat (1) KUHP.

Perbedaan Pendapat Selesainya Pemerasan

Namun berdasarkan telaah kami, ada perbedaan pendapat keberadaan benda dari perbuatan pemerasan. Tindak pidana pemerasan perihal keberadaan benda yang ada pada orang lain baik seluruhnya atau sebagian milik orang itu, belum jatuh ke tangan pelaku maka, keadaan seperti itu tidaklah membebaskan seseorang yang telah melakukan tindak pidana pemerasan.[6] Dalam kaitan ini terdapat yurisprudensi Putusan MA No. 81 K/PID/1982 dengan kaidah hukumnya:

Tidaklah menjadi syarat Pasal 368 KUHP bahwa Terdakwa telah benar-benar menerima apa yang dimintanya, karena perbuatan Terdakwa meminta uang dengan disertai ancaman dianggap telah terbukti, semua unsur delik “pemerasan” telah dipenuhi.

Maka ditinjau dari putusan ini, pelaku pemerasan, walaupun belum menerima penyerahan benda, menerima penghapusan piutang dan menerima utang, tetap dinyatakan tindak pidana yang selesai dan telah memenuhi unsur Pasal 368 KUHP.

Namun Adami Chazawi menyatakan pendapat berbeda. Menurutnya, sebuah perbuatan pemerasan dapat dikatakan selesai apabila memenuhi 3 unsur yaitu orang menyerahkan barang, orang memberi utang, atau orang menghapuskan piutang. Ketiga unsur ini merupakan indikator selesai atau tidaknya kejahatan pemerasan. Apabila perbuatan memaksa sudah terjadi, tetapi akibat perbuatan tidak ada atau belum timbul maka terjadilah percobaan pemerasan.[7]

Selesai atau timbulnya pemerasan, tidak bergantung pada perbuatan pelaku, tapi pada perbuatan korban yang melakukan penyerahan barang, pemberian utang, atau penghapusan piutang atau tidak melakukan walaupun sudah ada perbuatan memaksa. Pada pemerasan, belum cukup untuk selesainya kejahatan itu hanya karena selesai melakukan perbuatan yang dilarang saja, melainkan harus pula dari perbuatan itu sudah timbul akibat yang dilarang, yakni benda sudah diserahkan, piutang sudah dihapuskan atau utang sudah diberikan. Oleh karena itu, tindak pidana pemerasan ini merupakan tindak pidana materiil.[8]

Di sisi lain, walau memiliki kemiripan dengan beberapa pasal dalam KUHP, pemerasan tetap memiliki unsur pembeda. Tindak pidana pemerasan memiliki kemiripan dengan pencurian dengan kekerasan dari pasal 365 KUHP.[9] Bentuk perbedaannya yaitu bahwa dalam pencurian, pelaku sendiri yang mengambil barang curian, sedangkan dalam pemerasan, korban yang mendapat pemaksaan dengan kekerasan kemudian menyerahkan barangnya ke si pemeras.

Selain itu, pemerasan juga seringkali disandingkan dengan penipuan. Perbedaan terletak pada jika dalam penipuan korban menyerahkan benda, memberikan utang dan menghapuskan piutang berdasarkan kehendak korban, dilakukan secara sukarela, tanpa adanya paksaan maupun keberatan karena menggunakan tipu muslihat, sedangkan dalam pemerasan atau dalam hal ini pemerasan bermodus pura-pura tertabrak yakni penyerahan benda, memberikan utang dan menghapuskan piutang dilakukan dengan rasa keberatan karena adanya paksaan.

Dikarenakan adanya beberapa kemiripan dengan pasal lain, aparat penegak hukum harus cermat untuk menentukan penerapan pasal pada kasus dugaan pemerasan bermodus pura-pura tertabrak mobil ini.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Putusan:

Putusan Mahkamah Agung Nomor 81 K/PID/1982.

Referensi:

  1. Adami Chazawi. Kejahatan Terhadap Harta Benda. Malang: Bayumedia, 2004;
  2. Wirjono Prodjodikoro. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama, 2012;
  3. Mohammad Kenny Alweni. Kajian Tindak Pidana Pemerasan Berdasarkan Pasal 368 KUHP. Lex Crimen Vol VII/No. 3/Maret/2019;
  4. Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 7 Februari 2022, pukul 100 WIB.

[1] Adami Chazawi. Kejahatan Terhadap Harta Benda. Malang: Bayumedia, 2004, hal. 51

[2] Adami Chazawi. Kejahatan Terhadap Harta Benda. Malang: Bayumedia, 2004, hal. 52

[3] Adami Chazawi. Kejahatan Terhadap Harta Benda. Malang: Bayumedia, 2004, hal. 57

[4] Wirjono Prodjodikoro. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama, 2012, hal. 28

[5] Pasal 365 ayat (2), (3), dan (4) KUHP

[6] Mohammad Kenny Alweni. Kajian Tindak Pidana Pemerasan Berdasarkan Pasal 368 KUHP. Lex Crimen Vol VII/No. 3/Maret/2019. hal. 47-48

[7] Adami Chazawi. Kejahatan Terhadap Harta Benda. Malang: Bayumedia, 2004, hal. 53

[8] Adami Chazawi. Kejahatan Terhadap Harta Benda. Malang: Bayumedia, 2004, hal. 56

[9] Wirjono Prodjodikoro. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama, 2012, hal. 27

Silahkan kunjungi : https://www.hukumonline.com/klinik/a/modus-pura-pura-tertabrak-masuk-pemerasan-lt6200ee380c0d2

Related Post

Berita dan Artikel Terbaru

Pengumuman