Penerapan Keadilan Restoratif tanpa diversi tidak memberikan jaminan terhadap pemenuhan keadilan bagi korban

Berbeda dengan Keadilan Restoratif dalam UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang menekankan pada penghentian perkara melalui proses Diversi, model Keadilan Restoratif dalam Peraturan Kapolri 6/2019 dan Peraturan Jaksa Agung 15/2020 hanya berhenti pada proses penghentian perkara pidana (SP3 dan SKPP). Kedua aturan ini nampak tidak memiliki mekanisme diversi yang bertujuan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku tindak pidana terhadap pemulihan kondisi korba. Selain itu tidak nampak usaha yang dilakukan oleh Polisi dan Jaksa agar pelaku dapat berintegrasi ke masyarakat, tegas Dr Nurini Aprilianda Pakar Hukum Pidana sekaligus Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya kampus Jakarta dalam seminar daring yang diselenggarakan oleh PERSADA UB (Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana). Meski Peraturan Jaksa Agung 15/2020 misalnya mengadopsi konsep serupa dalam UU SPPA, namun ketiadaan mekanisme diversi dalam penerapan keadilan Restorative dalam Perkap dan Perja ini dinilainya tidak memberikan jaminan pemenuhan keadilan terhadap korban tindak pidana.

Dalam kesempatan yang sama Erni Mustikasari, SH., MH, salah satu jaksa yang tergabung dalam tim perumus Peraturan Jaksa Agung 15/2020 tentang Keadilan Restorative mengakui bahwa Kejaksaan Agung menerbitkan peraturan ini akibat keresahan masyarakat terhadap praktik penanganan perkara pidana dalam kasus ringan yang harusnya bisa didamaikan berdasarkan Keadilan Restoratif. Apalagi lanjutnya, kebutuhan penerapan konsep keadilan restoratif ini menjadi agenda prioritas nasional pemerintah dalam Peraturan Presiden 18/2020. Erni menjelaskan bahwa karena KUHAP belum mengakomodir konsep Keadilan Restoratif, diharapkan Perja ini dapat mengatasi kekosongan hukum terkait penyelesaian perkara berdasarkan konsep ini. Perja 15/2020 ini lanjutnya mendorong jaksa di daerah untuk menghentikan penuntutan dengan mengeluarkan SKPP terhadap perkara-perkara ringan yang dapat diterapkan berdasarkan keadilan restoratif.

Senada dengan pembicara sebelumnya, Andrea H Poeloengan, SH., MH., MTCP, Komisioner KOMPOLNAS 2016-2020 yang juga Pengajar STIK- PTIK menyatakan bahwa kelemahan penerapan konsep Keadilan Restoratif di masa penyidikan salah satunya dikarenakan tidak tegasnya mekanise pemulihan terhadap korban dalam pengaturan Keadilan Restoratif dalam PERKAP Kepolisian. Sama dengan pengaturan Keadilan Restoratif di Kejaksaan, luaran dari pelaksanaan keadilan restoratif ini bukanlah diversi melainkan penghentian penyidikan. Apalagi PERKAP membatasi penyelesaian perkara berdasarkan Keadilan Restoratif hanya bisa dilakukan sebelum SPDP dikirim ke Kejaksaan. Ini berarti penyidik Polisi hanya memiliki waktu tujuh hari untuk menerapkan Keadilan restoratif melalui proses mediasi setelah penyidikan dimulai. Selain itu Andrea menyoroti peran atasan penyidik yang seringkali menghambat proses mediasi dan kompetensi penyidik yang masih di bawah standard. Absennya mediator dari luar juga menjadi sebab penerapan keadilan restoratif rawan disalah gunakan oleh oknum penyidik.

Erasmus A.T. Napitupulu, Direktur Eksekutif ICJR dalam kesempatan yang sama menyoroti praktik lemahnya peran dominus litis jaksa dalam sistem peradilan pidana. Jaksa selama ini menurutnya hanya mengikuti kemauan penyidik polisi tanpa ada usaha untuk mengarahkan penyidikan perkara agar tidak semua perkara berakhir di pengadilan. Sistem kompartemen atau biasa disebut diferensiasi fungsional dalam KUHAP dia sebut menjadikan proses penyidikan dan penuntutan tidak searah. Erasmus menyoroti mekanisme PERKAP yang membatasi penyelesaian keadilan restoratif hanya terbatas 7 hari sebelum SPDP dikirim ke Kejaksaan. Padahal kalau memang luaran akhirnya adalah SP3 /penghentian penyidikan maka penerapan keadilan restoratif bisa dilakukan selama masa penyidikan dengan melibatkan jaksa penuntut umum. Erasmus juga menyoroti PERJA 15/2020 yang sebenarnya bisa lebih berdaya menerapkan keadilan restoratif jika dasarnya adalah asas oportunitas. Namun karena asas ini hanya menjadi monopoli Jaksa Agung dan hanya bisa dilakukan setelah mendapatkan pertimbangan dari Lembaga lain maka Kejaksaan nampaknya memasukkan mekanisme keadilan restoratif ini dalam alasan penghentian penuntutan demi kepentingan hukum. Eras menegaskan masalah ini harus segera diatasi dalam pengaturan rancangan KUHAP yang akan datang.

Di akhir kegiatan, Fachrizal Afandi, Direktur Eksekutif PERSADA UB menegaskan bahwa trend munculnya peraturan kelembagaan seperti PERKAP, PERJA ataupun PERMA yang mengatur hukum acara menunjukkan rendahnya produktifitas DPR dalam menghasilan legislasi terkait hukum acara pidana. KUHAP sebagai produk Orde Baru yang masih melestarikan sistem kompartemen/diferensiasi fungsional membuat masing-masing Lembaga Penegak hukum membuat aturan sectoral yang dalam banyak kasus tidak harmonis dan saling kontradiktif. Dalam konteks penerapan keadilan restoratif, ini membuka peluang penyalah gunaan kewenangan penghentian perkara dengan alasan keadilan restoratif untuk kepentingan koruptif aparat. Jika memang Peraturan Presiden 18/2020 tentang RPJMN menjadikan Keadilan restoratif sebagai program prioritas Nasional, maka menurutnya pemerintah harus segera mengatur secara tegas mekanisme penghentian perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif ini secara menyeluruh, tidak berhenti hanya di SP3 dan SKPP. Pelibatan balai pemasyarakatan, dinas sosial, dinas Pendidikan dan Lembaga lain di luar sistem peradilan pidana mutlak dibutuhkan jika memang serius menerapkan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana.

 

Link Youtube :

https://www.youtube.com/watch?v=mDzrqQwzZLQ&t=5s&ab_channel=PersadaUB

 

Related Post

Berita dan Artikel Terbaru

Pengumuman