Dr. G. Ambar Wulan, MHum, penulis Biografi R.S Soekanto, mengatakan, dalam melakukan reformasi kultural, penting bagi Polri untuk belajar dari sejarah R.S Soekanto yang merupakan Kapolri pertama. Sosok ini dikenal memiliki keteladanan tinggi sebagai peletak dasar struktur kepolisian saat ini. Ambar menyebutkan peran Soekanto terutama karena telah mengubah watak dan mental dari Polisi Kolonial menjadi Polisi Republik Indonesia.
Hal itu disampaikan Ambar pada acara Seminar dan Bedah Buku Jejak peletak dasar Kepolisian Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo dan relevansinya terhadap reformasi kultural Polri, Sabtu (15/10/2016). Kegiatan ini diselenggarakan oleh PERSADA (Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana). Hadir pada acara tersebut Kapolres Kota Malang AKBP Decky Hendarsono, S.IK dan pemateri di antaranya Komjen Pol (Purn) Drs. Ahwil Lutan, SH, MBA, MM (editor buku); Fachrizal Afandi, SPsi, SH, MH (dosen FH UB dan peneliti PERSADA) serta F. X. Domini B. B. Hera, SHum (sejarawan).
Ahwil yang merupakan tokoh senior di Kepolisian Republik Indonesia mengatakan perubahan yang dilakukan R.S. Soekanto tidak mudah karena kompleksitas masyarakat dan kondisi kenegaraan saat itu. Soekanto menjadi Kapolri di era demokrasi parlementer yang memisahkan jabatan Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan.
“Perdana Menteri silih berganti namun Soekanto tidak pernah diganti hingga di tahun 1959 menjelang demokrasi terpimpin beliau diberhentikan oleh Presiden Soekarno akibat adanya intrik politik di tubuh Polri” ungkapnya.
Ditambahkan Ahwil, jejak penting dari Jenderal Soekanto dalam membangun Polri sebagai organisasi sipil adalah akuntabilitas dan transparansi yang berusaha dia bangun. Pada 10 tahun masa jabatannya, dia membuat semacam laporan pertanggung jawaban atas kerja-kerja yang dilakukan sebagai Kepala Kepolisian di masa itu.
Dr. Nurini Aprilianda, SH, MH, Ketua PERSADA, menyatakan bahwa kegiatan bedah buku ini merupakan awal dari serangkaian program prioritas yang akan dilakukan oleh PERSADA sebagai lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang aktif dalam melakukan advokasi kebijakan sistem peradilan pidana di Indonesia yang profesional dan menghormati HAM.
“Dalam sebuah kesatuan sistem peradilan pidana, permasalahan penegakan hukum tidak hanya dapat diselesaikan terhadap salah satu lembaga saja. Kami sedang melakukan penelitian berkaitan dengan institusi kejaksaan, dan ini saatnya mengkaitkannya dengan institusi kepolisian,” katanya.
Sebagai langkah nyata, PERSADA berencana memberikan policy paper yang berisi rekomendasi terhadap reformasi kultural yang saat ini sedang dijalankan oleh Polri. Fachrizal Afandi yang juga merupakan Koordinator Eksekutif PERSADA UB mengatakan rekomendasi tersebut meliputi tiga aspek; pertama aspek pendidikan, Polri diharapkan melakukan evaluasi terhadap pola pendidikan dari yang bernuansa militer menjadi bernuansa sipil yang mengutamakan profesionalitas. Kedua, aspek manajemen birokrasi, Polri harus menerapkan transparansi dan akuntabilitas organisasi yang disesuaikan dengan semangat Undang-undang 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Ketiga, aspek penegakan hukum, Polisi sebagai penyidik sipil dan alat kekuasaan yudisial dalam proses pencarian alat bukti haruslah dijamin independensinya dengan mengeliminir hierarki vertikal berdasarkan jabatan dan kepangkatan dan mulai memperkuat supervisi dan pengawasan dari lembaga penegak hukum lain dalam sistem peradilan pidana yang dalam hal ini adalah lembaga kejaksaan dan pengadilan.