Tidak cukup PERMA, PERSADA UB Menegaskan Perlu Revisi UU TIPIKOR dan RKUHP untuk Kurangi Disparitas Putusan Perkara Tipikor

Pada awal Juli 2020, Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA  1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor sebagai ikhitar untuk mengurangi disparitas putusan terkait tindak pidana korupsi.

Dalam Seminar Daring Perma 1/2020; Solusi atau Masalah Mengatasi Disparitas Pemidanaan Korupsi yang diselenggarakan di Malang 10 Agustus 2020,  Dr Nurini Aprilianda – Ketua Badan Pengurus PERSADA Universitas Brawijaya – menyebut bahwa PERMA 1/2020 ini dipandang sebagai usaha Mahkamah Agung untuk mengatasi disparitas putusan yang terlalu mencolok. Meski banyak yang mengkuatirkan bahwa PERMA ini akan mengebiri independesi Hakim dalam menjatuhkan putusan tindak pidana korupsi, namun pedoman yang ada dalam PERMA ini dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan berdasarkan kategorisasi yang tercantum dalam PERMA ini.

Dalam Seminar tersebut, Budi Suhariyanto, Peneliti PUSLITBANG Mahkamah Agung menjelaskan bahwa kedudukan PERMA ini sebagai pelaksana dan mengisi kekosongan Hukum Acara Pidana cukup kuat berdasarkan pasal 8 UU PPU dan pasal 79 UU MA. Budi bahkan menjelaskan kedudukan PERMA ini bisa dimaknai setara dengan Peraturan Pemerintah, mengingat praktik beberapa peraturan perundang-undangan lain yang mendelegasikan kewenangannya terkait peradilan ke PERMA.

Pedoman dalam PERMA ini menurutnya sama sekali tidak mengebiri independensi Hakim mengingat UU Tipikor memberikan range yang luas pada hakim saat memutus berdasarkan ancaman pidana minimum dan maksimum.

PERMA ini pun tetap berpegang teguh pada asas proporsinalitas dimana harus ada kesepadanan antara dampak tindak pidana dan hukuman yang dijatuhkan. Selain PERMA ini lanjutnya, MA juga sedang melakukn riset terkait pedoman pemidanaan dalam RKUHP dan tidak menutup kemungkinan akan dikeluarkan PERMA terkait pedoman pemidanaan terhadap tindak pidana lain

Pada kesempatan yang sama Maradona,SH, LLM, PhD, pengajar FH Universitas Airlangga mengurai masalah utama dalam penerapan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor yang memiliki pengaturan ambigu dan memiliki banyak perbedaan penafsiran baik akademis, di yurisprudensi dan konstitusional.

Dua pasal ini merupakan pasal paling popular yang diuji di MK dan juga diatur dalam SEJA Kejaksaan, SEMA dan PERMA. Menjadi wajar jika dalam PERMA ini pedoman berfokus pada kerugian keuangan negara daripada mengatur 30 jenis perbuatan di tiga belas pasal UU Tipikor.

Berbeda dengan Budi,  Mengutip Pompe (2005), Maradonna menyebut terbitnya PERMA merupakan usaha MA untuk mengimplementasikan kesatuan hukum di pengadilan tingkat bawah saat penggunaan yurisprudensi belum banyak dirujuk oleh putusan pengadilan tingkat pertama.

Oleh karenanya Maradonna menyebut bahwa PERMA ini hanyalah sebatas justifikasi bagi hakim saat menjatuhkan pemidanaan penjara atau tindak pidana dan tidak terkait dengan independensi hakim saat menganalisa unsur tindak pidana korupsi.

 

Sedangkan Milda Istiqomah, SH, MTCP, Pengajar FH Universitas Brawijaya menyebut bahwa secara konseptual harusnya asas proporsionalitas dimaknai kesepadanan antara keseriusan tindak pidana dan keseriusan hukuman yang dijatuhkan.

Menurutnya dibandingkan dengan pedoman serupa di negara lain seperti Amerika, Malaysia dan Inggris, PERMA 1/2020 belum detail mengkuantifikasi asas ini, termasuk dengan mencantumkan secara jelas bagaimana menghitung alasan yang meringankan dan memberatkan pidana saat menjatuhkan putusan. Jika dibandingkan dengan praktik yang ada di negara lain, terbatas hanya tiga negara penganut common law di atas yang menerapkan secara penuh model Numerical guidelines ini.

Oleh karenanya Milda menyarankan agar MA tidak perlu terburu-buru mengimplementasikan perma ini sebelum melakukan sosialisasi kepada para hakim.

Fachrizal Afandi, Direktur Eksekutif PERSADA Universitas Brawijaya, menyebut bahwa pedoman pemidanaan yang digagas oleh Mahkamah Agung ini merupakan ikhtiar yang baik untuk menghindari adanya disparitas yang tidak wajar. Namun yang perlu dicatat karena Hukum Acara kita sebagian besar masih menganut civil law, pedoman seperti ini nampaknya lebih cocok diimplementasikan di Kejaksaan, alih-alih pengadilan.

Proses transplantasi hukum acara apalagi yang berasal dari system yang berbeda harus dilakukan secara holistic dan hati-hati. Jika memang disepakati untuk mengadopsi system numerical guidelines ala common law system maka peraturan perundang-undangan seperti KUHP dan KUHAP pun harus disesuaikan untuk mendukung system ini. Tentu masalah utama terkait rumusan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor harus segera diperbaiki untuk menghindari penafsiran dan praktik yang melebar dan sewenang-wenang.

 

Link Rekaman Seminar Daring

https://www.youtube.com/watch?v=i1Y_f4lpCME&t=98s

 

Related Post

Berita dan Artikel Terbaru

Pengumuman